Benarkah Indonesia sudah dalam
status “Darurat Narkoba”? Apa indikatornya? Pertanyaan ini perlu dijawab, sebab
kondisi darurat harus dirumuskan berdasarkan data dan fakta. Berdasarkan data
BNN pada 2014, tercatat lebih dari 4 juta penyalah guna Narkoba di Indonesia.
Itu artinya 2,18% penduduk Indonesia menjadi pengguna Narkoba dan terus
meningkat dari tahun ke tahun. Dan bila tidak dicegah maka akan ada 5 juta
penyalah guna pada tahun 2020. Kita tahu, bahwa penyalahgunaan Narkoba membawa
dampak amat buruk terhadap penggunanya dan lingkungan sekitarnya. Penyalahguna
narkoba akan mengalami gangguan fisik dan psikis hingga kematian. Dewasa ini
30-40 orang meninggal dunia setiap hari akibat penyalahgunaan Narkoba, dan
78% diantaranya berusia 19-21 tahun.
Setiap tahun jumlah kasus Narkoba cenderung
meningkat. Tahun 2000 jumlah kasus Narkoba sebesar 3.438 kasus. Sepuluh tahun kemudian atau pada
tahun 2010 meningkat menjadi 26.461 kasus. Narkoba dikhawatirkan memicu
penggunanya melakukan kejahatan. Kekhawatiran ini bisa dilihat dari data bahwa
lebih dari 60% penghuni Lapas di Indonesia adalah pelaku kejahatan yang terkait
dengan Narkoba. Bila dihitung secara material kerugian akibat peredaran gelap
dan penyalahgunaan Narkoba pada 2014 mencapai 63,1 trilyun atau hampir 3 kali
lipat lebih besar dari APBD Jawa Timur yang berjumlah 23 trilyun. Angka ini
termasuk, antara lain uang untuk membeli
Narkoba, kerugian dalam kejahatan yang diakibatkan oleh Narkoba dan biaya
rehabilitasi. Sedangkan nilai transaksi Narkoba di Indonesia berjumlah 48
trilyun atau sepertiga dari seluruh nilai transaksi Narkoba di ASEAN sebesar
160 trilyun. Ditambah lagi dengan kondisi geografis Indonesia yang luas dan
berpulau-pulau serta jumlah penduduk yang sangat besar, tak heran jika Indonesia
menjadi sasaran empuk jaringan internasional mafia peredaran gelap Narkoba.
Peredaran gelap Narkoba sudah
menjadi kejahatan luar biasa, bahkan presiden Jokowi menyatakan bahwa Narkoba
memiliki daya rusak luar biasa dan penyalahgunaan Narkoba menghambat daya saing
bangsa. Hal ini tidak berlebihan bila kita melihat korban penyalahgunaan
Narkoba berada pada usia produktif 10-59 tahun dan 70% adalah pekerja. Modus
operandi peredaran Narkoba berubah-ubah. Peredarannya dilakukan secara
berjenjang hingga ke penyalah guna. Sebagian besar atau 75% peredaran Narkoba
di Indonesia dikendalikan dari balik penjara. Narkoba bahkan sudah menjadi
semacam “home industry” di apartemen-apartemen. Pada tahun 2009 tercatat 37 “home
industry” Narkoba dan cara pembuatannya dapat diketahui dari internet. Bukan
tidak mungkin dalam operasinya para Bandar
melibatkan pelajar atau mahasiswa untuk mengedarkan Narkoba di sekolah atau
kampus. Sebagai contoh Polres Kota Medan sepanjang Januari hingga Agustus 2015
meringkus 1.143 pengedar dan Bandar Narkoba di Medan. Dari jumlah itu terdapat
68 pelajar SD, 200 pelajar SMP, 849 pelajar SMA dan 26 mahasiswa.
Dari data dan fakta tersebut sudah jelas bahwa
Indonesia dalam status Darurat Narkoba. Diperlukan
upaya-upaya luar biasa dalam menangani masalah ini. Di bidang penegakkan hukum,
BNN, Polri dan Bea Cukai berhasil menyita dan menangkap penyelundup dan
pengedar Narkoba. Namun ternyata lebih banyak yang lolos daripada yang tertangkap.
Pada tahun 2013 disita 17,76 ton ganja,
diperkirakan lolos/beredar: 140,75 ton.
Shabu disita 0,40 ton, diperkirakan lolos/ beredar: 219,44 ton. Dan ekstasi disita 1,1 juta butir,
diperkirakan lolos/ beredar: 13,2 juta butir. Negara juga menerapkan hukuman keras,
termasuk hukuman mati kepada para pengedar Narkoba. Kampanye Indonesia Darurat
Narkoba juga harus terus menerus di dengung-dengungkan agar terbangun kesadaran
di masyarkat untuk mewaspadai peredaran gelap dan penyalahgunaan Narkoba. Melalui
kampanye itu juga diharapkan agar seluruh komponen masyarakat bisa tergerak
turut serta mencegah dan memberantas peredaran gelap dan penyalahgunaan
Narkoba.
0 komentar:
Posting Komentar